## Hoaks di Era Digital: Ancaman Nyata bagi Ekonomi dan Pemerintahan
Dunia saat ini dibanjiri informasi. Kemajuan teknologi digital, khususnya media sosial, telah menciptakan arus informasi yang deras dan tak terbendung. Namun, di balik limpahan informasi ini, tersembunyi ancaman nyata berupa hoaks atau kabar bohong yang dampaknya semakin meluas, tidak hanya mengganggu kehidupan sosial, tetapi juga secara signifikan memengaruhi stabilitas ekonomi dan pemerintahan. Serial televisi Amerika “Homeland Season 7,” yang mengisahkan konspirasi yang memanfaatkan hoaks untuk menggulingkan pemerintahan, menjadi gambaran nyata betapa isu ini telah bergeser dari ancaman terorisme bersenjata menjadi ancaman yang lebih licik dan sulit dideteksi.
Jika dulu terorisme mendominasi isu utama dunia selama bertahun-tahun, kini hoaks dan disinformasi telah mengambil alih posisi tersebut. Ancaman ini tidak mengenal batas geografis. Baik negara maju maupun berkembang, termasuk Indonesia, merasakan dampaknya yang merusak. Di sektor ekonomi, misalnya, pelaku usaha, baik skala makro maupun mikro, membutuhkan informasi akurat untuk pengambilan keputusan yang tepat. Ketidakpastian yang ditimbulkan oleh hoaks dapat mengganggu pasar saham, investasi, dan aktivitas ekonomi riil. Hal ini mendorong perkembangan industri penyedia data dan informasi yang akurat sebagai bisnis yang krusial dan terus berkembang. Laporan “Digital Wildfires in a Hyperconnected World” oleh The Global Risks Reports pada tahun 2013 telah memprediksi intensifikasi dampak negatif media sosial, meskipun pengukuran kerugian finansialnya masih sulit dilakukan.
Ekonomi sangat sensitif terhadap akurasi informasi. Informasi bertindak sebagai sinyal yang memengaruhi perilaku pelaku ekonomi. Contoh klasik terlihat pada peristiwa di pasar saham London pada tahun 1803. Berita palsu tentang berakhirnya perselisihan antara Inggris dan Prancis menyebabkan lonjakan harga saham hingga 5%, meskipun berita tersebut sepenuhnya tidak akurat. Peristiwa ini menggambarkan bagaimana pelaku ekonomi seringkali bereaksi cepat terhadap informasi, tanpa memprioritaskan verifikasi kebenarannya. Risiko keterlambatan merespons informasi dapat berdampak fatal bagi investasi dan bisnis.
Ketidakpastian seputar Brexit baru-baru ini menjadi contoh nyata bagaimana spekulasi liar yang dipicu oleh informasi yang tidak terverifikasi dapat menimbulkan dampak ekonomi yang luas, tidak hanya di Inggris dan Eropa, tetapi juga di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri, operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Bekasi terkait kasus suap proyek Meikarta, meskipun merupakan informasi akurat, tetap memicu reaksi negatif pasar yang menyebabkan saham Lippo anjlok. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana informasi, baik yang benar maupun salah, dapat menyebabkan fluktuasi tajam pada indikator ekonomi, seperti harga saham dan nilai tukar mata uang.
Di era *big data*, kita dihadapkan pada paradoks: kuantitas informasi yang melimpah seringkali berbanding terbalik dengan kualitasnya. Informasi akurat terbenam di tengah lautan informasi sampah yang menyesatkan. Contohnya, pembelian 10 ton cabai oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk menenangkan petani yang resah akibat hoaks tentang impor cabai yang akan menurunkan harga. Peristiwa ini menggambarkan betapa hoaks dapat menciptakan keresahan dan menimbulkan kerugian ekonomi yang nyata.
Permasalahan utama terletak pada kecepatan penyebaran informasi yang seringkali mengalahkan akurasi. Dalam dunia yang serba cepat, informasi yang paling cepat diterima, bukan yang paling akurat, seringkali menjadi penentu reaksi. Hal ini membahayakan karena informasi cepat belum tentu terverifikasi dan dapat memicu tindakan yang tidak rasional. Media sosial, sebagai platform penyebaran informasi yang masif, memperparah keadaan karena minimnya mekanisme penyaringan informasi. Berbeda dengan media berita konvensional yang memiliki redaksi dengan kemampuan jurnalistik untuk melakukan verifikasi, media sosial memungkinkan penyebaran informasi tanpa filter. Oleh karena itu, kemampuan kritis dalam menafsirkan informasi menjadi sangat penting.
John Stuart Mill, filsuf ekonomi dan demokrasi, menekankan kebebasan berpendapat. Namun, ia juga mengakui kelemahan manusia dalam menerima kebenaran yang belum terverifikasi. Riset Helena Webb dan koleganya (2016) menunjukkan betapa mudahnya individu termakan hoaks dan informasi menyesatkan di media sosial. Dalam konteks ini, pelaku bisnis harus meningkatkan kemampuan menyaring dan mengolah informasi, sedangkan pemerintah perlu membuat aturan untuk mencegah penyebaran hoaks, kendati hal ini berpotensi menimbulkan perdebatan terkait demokrasi.
Membangun masyarakat yang cerdas dan mampu mengambil keputusan rasional, bukan emosional, merupakan kunci dalam menghadapi tantangan ini. Proses ini memang membutuhkan waktu, tetapi merupakan langkah krusial agar kita tidak terus terjerat dalam belitan hoaks yang semakin membesar.
**Kata Kunci:** Hoaks, Disinformasi, Ekonomi Digital, Pasar Saham, Media Sosial, Verifikasi Informasi, Analisis Informasi, Kecerdasan Informasi, Brexit, Indonesia, Pemerintahan, John Stuart Mill.